PENJELASAN HADITS
"Tidak akan berbahagia / berjaya suatu kaum
yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita
(mengangkat wanita sebagai pemimpin)."
DERAJAT
HADITS
Hadits ini
dikeluarkan oleh:
Imam
Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya di dua tempat. Kitabul Maghazi bab Kitab An-Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam ila Kisra wa
Qaisar no. 4425 dan Kitabul Fitan no. 7099.
Imam Abu Isa At-Tirmidzi dalam Sunannya,
Kitabul Fitan no. 2262 dan beliau menyatakan:
"Hadits ini hasan shahih."
Imam An-Nasa`i
dalam Sunannya, Kitab Adabil Qudlat bab An-Nahyu 'an Isti'malin Nisa fi
Hukmi no. 2/305 no. 5403.
Al-Hakim dalam
Mustadraknya, Kitabul Fitan wal Malahim 4/570 no. 8599 dan beliau
menyatakan: "Hadits ini sanadnya shahih dan keduanya (Bukhari dan Muslim)
tidak mengeluarkannya."
Imam Al-Baihaqi
dalam As-Sunan Al-Kubra, bab La Yuwalli Al-Wali Imra`atan wala Fasiqan
wala Jahilan Amral Qadla, Kitab Adabul Qadli, 10/201 no. 20362.
Imam Al-Baghawi
dalam Syarhus Sunnah, Kitabul Imarah wal Qadla, bab Karahiyatu Tauliyatin
Nisa 6/60 no. 2486. Kata beliau: "Hadits shahih."
Al-Khatib
At-Tibrizi dalam Misykatul Mashabih, Kitabul Umarah wal Qadla pasal pertama
2/1091 no. 3693.
Al-Imam As-Suyuthi dalam Jami'us Shaghir, lihat Faidlul Qadir karya Al-Munawi
5/386 no. 7393 dan beliau (Suyuthi) memberi kode: “Shahih."
Hadits di atas dijadikan dasar para ulama untuk
melarang seorang wanita memangku jabatan
sebagai kepala negara. Berikut ini akan saya nukilkan keterangan
ulama berbagai madzhab tentang hadits tersebut:
- Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dalam kitabnya Al-Fashl
4/110 menyatakan:
"Seluruh golongan Ahli kiblat (muslimin),
tidak ada seorang pun dari mereka yang
memperbolehkan kepemimpinan seorang wanita." (Lihat Al-Imamatul 'Udhma hal.
246).
- Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab Al-Mughni
10/92 menjelaskan alasan seorang wanita
tidak boleh menjadi hakum atau pemimpin:
"...karena seorang hakim (qadli) harus
menghadiri tempat pengadilan dan perkumpulan lelaki
dan membutuhkan pandangan yang tajam serta kecerdasan akal yang
sempurna. Sementara wanita adalah makhluk yang kurang akalnya, dangkal
pandangan pemikirannya, tidak boleh hadir pada perkumpulan kaum lelaki
dan tidak diterima persaksiannya (dalam pengadilan) sekalipun
1000 (seribu) wanita selama tidak ada laki-laki (yang ikut jadi saksi).
Allah telah mengingatkan sifat pelupa mereka dalam firman-Nya:
"...supaya jika seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya...."(Al-Baqarah: 282)
Seorang wanita tidak layak memangku jabatan
kepemimpinan tertinggi dan tidak pula mengatur
sebuah negara. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, para khalifahnya dan para ulama yang datang sepeninggal
beliau tidak pernah mengangkat seorang wanita sebagai hakim atau
mengatur sebuah wilayah di suatu negara. Menurut berita yang sampai
kepada kami, kalaulah boleh, maka tidak akan kosong seluruh masa dari
kepemimpinanwanita...."
- Abu Muhammad Al-Husain bin Mas'ud Al-Baghawi
dalam kitabnya Syarhus Sunnah 6/60
menjelaskan: "(Para ulama) sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi
pemimpin dan hakim (qadli) karena seorang imam (pemimpin) perlu keluar
untuk mengurusi permasalahan jihad (perang) dan urusan kaum
muslimin. Sementara seorang hakim harus keluar untuk memutuskan berbagai
permasalahan. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak boleh keluar (dari
rumahnya). Wanita sering kali tidak mampu mengurusi banyak perkara karena
kelemahannya dan dikarenakan wanita itu kurang (agama dan akalnya).
Padahal kepemimpinan dan kehakiman itu adalah jabatan yang sempurna ,
tidak boleh dijabat kecuali oleh kaum lelaki yang sempurna...."
- Abu Bakar Ibnul 'Arabi Al-Maliki dalam kitabnya
Aridlatul Ahwadzi juz 9/119 setelah
membawakan hadits ini menjelaskan: "Hadits ini menunjukkan bahwa
kepemimpinan itu adalah hak lelaki. Tidak ada celah bagi wanita dalam
masalah ini menurut kesepakatan (ulama, pent)."
- Muhammad Abdurra`uf Al-Munawi dalam kitabnya
Faidlul Qadir 5/386 setelah menyebutkan
hadits ini menyatakan: "...yang demikian itu karena kekurangan yang
ada pada seorang (wanita) dan kelemahan pandangannya
(rasionya), juga karena seorang pemimpin dituntut untuk keluar mengurusi problem
rakyat. Sedangkan seorang wanit adalah aurat
yang tidak mungkin keluar melakukan tugas seperti
itu. Maka ia tidak sah menjadi seorang
pemimpin dan hakim."
- At-Thibi menjelaskan: "Hadits ini
menyandarkan ketidakbahagiaan, ketidakjayaan bangsa Persia
secara ta`kid (penekanan) dan pada hadits ini ada isyarat bahwa
kejayaan milik bangsa Arab, sehingga berita ini merupakan
mu'jizat."
- Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam Kitabul
Qadla 4/229 menjelaskan hadits ini: "Di
dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehnya seorang wanita
memimpin sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di
kalangan muslimin...." Beliau juga menegaskan: "Hadits ini
mengabarkan tentang ketidakjayaan suatu kaum yang mengangkat wanita
sebagai pemimpin. Sedangkan kita dilarang melakukan sesuatu yang
mengakibatkan ketidakjayaan / ketidakbahagiaan pada diri kita dan diperintahkan
untuk berupaya mengerjakan sesuatu yang membawa kepada kebahagiaan dan
kejayaan."
- Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar
juz 8/272 bab Al-Mu`min Wilayatil
Mar`ati was Shabiyi wa Man La Yuhsinul Qadla menerangkan: "Pada
hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang wanita bukanlah
orang yang pantas dan berhak menjadi pemimpin. Bahkan tidak halal bagi
suatu kaum mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin. Sedangkan
menjauhkan diri dari perkara yang membawa kepada ketidakbahagiaan adalah
wajib."
- Dalam kitabnya (Imam Asy-Syaukani) yang lain
yaitu As-Sailul Jarar 4/505 ketika berbicara
tentang syarat seorang pemimpin harus pria, beliau menjabarkan:
"...Alasannya adalah karena kaum wanita adalah orang yang kurang
akal[2] dan agamanya sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Orang yang seperti itu keadaannya, tentu saja
sangat tidak pantas mengurusi problem umat. Oleh sebab itulah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits
yang shahih: "Tidak akan jaya
suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita."
- Al-'Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam
Adlwaul Bayan 1/52 menjelaskan:
"Termasuk syarat kepala negara adalah dia seorang pria. Tidak ada ikhtilaf
dalam masalah ini di kalangan para ulama. Dalilnya adalah hadits yang
terdapat dalam Shahih Bukhari dan yang lainnya dari hadits Abi Bakrah bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala sampai pada beliau
kabar bahwa penduduk Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu (kepala
negara), beliau bersabda: (hadits di atas)."
- Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi dalam Ithaful
Kiram hal. 417-418 menerangkan:
"Hadits ini umum mencakup semua kepemimpinan dalam suatu pemerintahan sampai
jabatan terkecil sekalipun, walaupun hadits ini disabdakan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala sampai berita bahwa
penduduk Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin (kepala
negara) mereka..."
- Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam dalam
Taudlihul Ahkam 6/142 juga menjelaskan:
"Hadits ini secara tegas menyatakan tidak sahnya kepemimpinan seorang wanita,
dan suatu masyarakat atau bangsa yang mengangkat seorang
wanita sebagai pemimpin tidak akan bahagia, baik dalam urusan duniawi
maupun urusan ukhrawi. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya
adalah tiga imam madzhab di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu Malik,
Asy-Syafi'i dan Ahmad."
- Sementara Abu Hanifah berpendapat boleh
mengangkat wanita sebagai pemimpin dalam masalah
hukum kecuali hukum-hukum had. Namun pendapat ini bertentangan dengan
nash dalil dan fitrah Rabbani.... "Sekalipun dia (wanita) memiliki
kekuatan dan mendapat dukungan masyarakat, tetap mereka tidak akan
bahagia / jaya dalam urusan duniawi maupun urusan agama. Wallahul
musta'an." (Lihat kembali ucapan ulama tentang Abu Hanifah pada edisi 29
majalah Salafy)
Demikian penjelasan para ulama jaman dahulu maupun
sekarang tentang hadits ini atau
permasalahan yang dibahas dalam hadits ini. Semuanya menjelaskan tidak
bolehnya wanita menjadi pemimpin. Hujjah mereka kita susun sebagai berikut:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tersebut
dalam surat An-Nisa 34:
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka...." (An-Nisa: 34)
2. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
yang sedang kita bahas kali ini berikut penjelasan ulama
tentangnya.
3. Ijma', Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, para khalifah beliau dan generasi
setelah mereka sampai sekarang ini tidak pernah mengangkat wanita
sebagai pemimpin. Ini menunjukkan adanya kesepakatan di kalangan mereka
(ijma'). Ijma' (kesepakatan ulama) merupakan argumentasi yang
signifikan karena Allah tidak akan mengumpulkan umat ini di atas kesalahan.
M. Afifuddin (Abu Iqbal)
No comments:
Post a Comment