A. Al Imam Al Ghazali RahimahuLlah
Tersebut dalam kitabnya 'Ihya' Ulumiddin' (Jld 2/hlm 3) selepas memperkatakan tentang makan di atas meja, beliau menyatakan :
"Ketahuilah, walaupun kami menyatakan makan di atas safrah (berlapik di atas lantai) lebih afdal, tapi tidaklah bererti kami mengatakan makan di atas meja dilarang samada makruh atau haram, kerana tidak sabit larangan mengenainya. Dan tidak juga dikatakan : Dia telah melakukan bid'ah selepas RasuluLlah SallaLlahu 'alaihi wasallam, kerana bukan semuanya bid'ah (perkara baru) itu dilarang, tapi yang dilarang ialah bid'ah yang bertentangan dengan sunnah (hadith) yang sahih dan menolak satu perkara yang diperintahkan oleh syariat sedangkan illahnya (Sebab yang mewajibkan) masih ada. Bahkan melakukan perkara-perkara baru itu menjadi wajib pada keadaan-keadaan tertentu jika berubah sebab-sebabnya. Dan meja itu tidak digunakan melainkan untuk meninggikan makanan supa senang dijamah.
B. Al Imam Ibnu Taimiyyah RahimahuLlah
Beliau ada menyatakan di dalam kitabnya : "Minhaj As Sunnah an Nabawiyah" (Jld 4/hlmn 224) selepas memperkatakan mengenai para sahabat berkumpul untuk menunaikan solat Terawih berjemaah dengan berimamkan Ubai bin Ka'ab, lalu berkata Saidina Umar : yang bermaksud : Itulah sebaik-baik bid'ah.
Menurut ibnu taimiyyah : Perhimpunan ini yang tidak pernah dilakukan sebelumnya dan ia dinamakan bid'ah, kerana dalam bahasa Arab : Sesuatu yang diwujudkan kali pertama dikatan bid'ah.
Bukanlah dimaksudkan bid'ah di sini bid'ah dari segi syarak seperti menggalakkan sesuatu yang tidak diredhai ALlah, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh ALlah, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh ALlah. Kerana itu jangan melakukan sesuatu dengan i'tiqad yang menyalahi syariat. Oleh itu, sekalipun seseorang itu melakukan sesuatu yang diharamkan dan dia masih ber'itiqad bahawa perkara itu tetap haram, tidak lagi dikatakan bahawa dia telah melakukan bid'ah."
Sumber rujukan : Salah Faham Terhadap Bid'ah, Al Bid'ah fi mafahim al Islami ad Daqiq, Dr Abdul Malik Abd Rahman as Sa'adi, Darul Nu'man, 2002
Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dg sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dg ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal hal yg tidak sejalan dg Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yg wajib, Bid’ah yg mandub, bid’ah yg mubah, bid’ah yg makruh dan bid’ah yg haram.
Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yg menentang kemungkaran, contoh bid’ah yg mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yg Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas d**etahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yg umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
4. Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yg bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yg disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yg tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa fatwa para Imam?
Walillahittaufiq
demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,
wallahu a'lam
sumber : http://www.majelisrasulullah.org
No comments:
Post a Comment